Anak dan Problematikanya
Memang belum berpengalaman punya dan mengasuh anak sendiri. Tapi toh berkomentar itu nggak selalu harus based on our own expereinces kan?
Bulan lalu ikut pengajian tentang "Birul Walidain". Ada satu hal yang masih mengganjal bagi saya. Saya mengimani dan sepakat bahwa seorang anak laki-laki bakti tertingginya adalah kepada orang tuanya. Ibu, ibu, ibu lalu ayah. Namun bagi seorang perempuan, ketika sudah menikah, maka bakti tertingginya adalah suaminya. Jadi tuh kalau diibaratkan drama Korea. Ibu mertua tuh macam Ibu Suri. Punya kekuasaan sendiri. Raja sebagai pimpinan tertinggi pun nggak bisa serta merta berjalan tanpa andil Ibu Suri. Entahlah! Itu yang jadi gambaran bagi saya.
Lantas kemudian, sebagai anak laki-laki (seorang suami) yang baik pasti memahami kewajiban untuk berbakti itu tadi. Bahkan diceritakan ada seorang laki-laki di jaman terdahulu yang sulit wafatnya karena ibunya marah dengannya. Marah kenapa? Karena anaknya membelikan baju untuk istrinya, tapi tidak membelikan baju untuk ibunya.
Hmmmhh hmmmmhhh..
Nggak ngerti sih gimana detailnya kejadian masa itu ya! Cuma kalau boleh menanggapi sih, sebagai orang tua harusnya juga kita paham bahwa anak itu bukan milik kita. Once dia sudah besar, ya dia punya kehidupannya sendiri. Kita hanya diamanahi, dititipi saja, bukan menjadi pemilik atau bahkan pengatur hidupnya.
Jika kita mau melihat kondisi di Eropa atau di Amerika atau bahkan di Asia timur sekali pun. Mereka yang berusia di atas 17 tahun (sebagian ada yang di atas 21 tahun), sudah memutuskan segala keinginannya sendiri. Bahkan ada yang sudah pisah rumah dengan orang tuanya (nggak kayak di sini, anak udah dua juga masih tinggal sama orang tuanya haha!). Maka nggak heran jika mereka nikah, yang ribet tuh ya mereka sendiri, bukan orang tuanya (kalau di sini, siapa yang nikah, siapa yang ribet deh!).
Semua culture itu pasti ada plus minusnya masing-masing sih!
Mungkin bagus melihat mereka sudah sangat mandiri di awal usia 20an, tapi lihat ketika sudah jompo, maka orang tuanya akan tinggal di panti jompo. Lain dengan di Indonesia, jarang sekali ada panti jompo. Mengapa demikian? Mungkin saja, mereka sudah terbiasa hidup mandiri, mengurusi diri sendiri dan lingkup kecil keluarganya, maka akan merasa terbebani dengan ketambahan orang tua yang sudah jompo yang notabene pasti lebih ribet ngurusinnya.
Lantas saya teringat sebuah percakapan dengan senior di kantor. Beliau seorang Bapak berusia 50 tahunan. Anaknya 3. Yang sulung kuliah di Madinah, yang nomor 2 nyantren di Gontor, tinggal yang terakhir yang masih tinggal dengannya. Anak sulung dan anak nomor 2 sudah meninggalkan rumah sejak lulus SD. Nyantren di Gontor.
"Tega gitu Pak ditinggalin anak?" Tanya saya "Ya harus tega. Kenapa nggak?" "Ya kan masih kecil, Pak. Nggak kangen apa? Kasian di sana jauh dari orang tua? Jarang ketemu." "Ya kan anak itu titipan. Cepat atau lambat juga akan ninggalin kita. Ya biasa-biasa aja. Toh dulu juga cuma sendiri, lalu berdua, lalu punya anak-anak. Nanti juga akan kembali seperti itu."
Jlebbbb! Bener banget! Anak itu cuma titipan. Kita yang berawal sendirian, akhirnya toh akan sendirian juga.
Makanya pendidikan anak-anaknya harus bagus. Kitanya juga harus mendidik diri sendiri juga.
Sebagai orang tua, harusnya kita "memberi tanpa harap kembali".
Mungkin itu salah satu hikmahnya sampai hari ini saya belum diberi amanah anak-anak. Mungkin Tuhan mau saya untuk belajar dari pengalaman-pengalaman orang di sekitar saya. Tentang bagaimana menjadi anak dan bagaimana menjadi orang tua agar kelak nggak salah dalam berkehidupan.
Kelak ketika menjadi orang tua, ikhlaslah! Besarkan anak-anak dengan kasih sayang, berikan pendidikan terbaik dan teladan terbaik. Ketika mereka sudah mampu untuk mandiri, maka lepaskanlah. Biarkan mereka belajar jadi manusia sendiri. Kita lihat saja, sejauh apa hasil didikan kita selama ini. Tak perlu menuntut mereka untuk pulang ketika liburan, biarkan saja mereka dengan kesadaran dan kerinduannya sendiri. Jika pun mereka tidak sempat pulang, mungkin saja kehidupannya memang lebih membutuhkannya untuk hadir di dalamnya. Toh dengan kemajuan teknologi abad ini, video call bisa menjadi salah satu solusi.
Ketika waktunya mereka menikah, bukalah hati untuk menerima anggota baru keluarga kita. Cintai juga dengan cinta yang sama. Tak perlu menuntutnya untuk menjadi seperti itu dan seperti ini. Sekali lagi kita akan melihat hasil didikan kita melalui cara anak kita memilih pasangannya dan mendidik cucu-cucu kita. Sudah tepatkah cara kita mendidik selama ini? Sudah kita tunaikankah amanah yang diberikan Tuhan kepada kita selama ini?
Ketika waktu pensiun kita sudah hadir, ketika punggung sudah mulai membungkuk, ketika makanan hanya bubur-bubur saja, tak perlulah menuntut mereka untuk selalu ada di samping kita. Mereka juga punya kehidupannya sendiri. Dan ini terakhir kalinya kita akan melihat hasil didikan kita. Akankah mereka merawat kita sebagaimana dahulu kita merawat mereka?
Baiklah, sekian dulu. Semoga menjadi renungan bagi diri kita masing-masing dan ke depannya menjadikan kita semakin memperbaiki apa yang belum tepat.
Bulan lalu ikut pengajian tentang "Birul Walidain". Ada satu hal yang masih mengganjal bagi saya. Saya mengimani dan sepakat bahwa seorang anak laki-laki bakti tertingginya adalah kepada orang tuanya. Ibu, ibu, ibu lalu ayah. Namun bagi seorang perempuan, ketika sudah menikah, maka bakti tertingginya adalah suaminya. Jadi tuh kalau diibaratkan drama Korea. Ibu mertua tuh macam Ibu Suri. Punya kekuasaan sendiri. Raja sebagai pimpinan tertinggi pun nggak bisa serta merta berjalan tanpa andil Ibu Suri. Entahlah! Itu yang jadi gambaran bagi saya.
Lantas kemudian, sebagai anak laki-laki (seorang suami) yang baik pasti memahami kewajiban untuk berbakti itu tadi. Bahkan diceritakan ada seorang laki-laki di jaman terdahulu yang sulit wafatnya karena ibunya marah dengannya. Marah kenapa? Karena anaknya membelikan baju untuk istrinya, tapi tidak membelikan baju untuk ibunya.
Hmmmhh hmmmmhhh..
Nggak ngerti sih gimana detailnya kejadian masa itu ya! Cuma kalau boleh menanggapi sih, sebagai orang tua harusnya juga kita paham bahwa anak itu bukan milik kita. Once dia sudah besar, ya dia punya kehidupannya sendiri. Kita hanya diamanahi, dititipi saja, bukan menjadi pemilik atau bahkan pengatur hidupnya.
Jika kita mau melihat kondisi di Eropa atau di Amerika atau bahkan di Asia timur sekali pun. Mereka yang berusia di atas 17 tahun (sebagian ada yang di atas 21 tahun), sudah memutuskan segala keinginannya sendiri. Bahkan ada yang sudah pisah rumah dengan orang tuanya (nggak kayak di sini, anak udah dua juga masih tinggal sama orang tuanya haha!). Maka nggak heran jika mereka nikah, yang ribet tuh ya mereka sendiri, bukan orang tuanya (kalau di sini, siapa yang nikah, siapa yang ribet deh!).
Semua culture itu pasti ada plus minusnya masing-masing sih!
Mungkin bagus melihat mereka sudah sangat mandiri di awal usia 20an, tapi lihat ketika sudah jompo, maka orang tuanya akan tinggal di panti jompo. Lain dengan di Indonesia, jarang sekali ada panti jompo. Mengapa demikian? Mungkin saja, mereka sudah terbiasa hidup mandiri, mengurusi diri sendiri dan lingkup kecil keluarganya, maka akan merasa terbebani dengan ketambahan orang tua yang sudah jompo yang notabene pasti lebih ribet ngurusinnya.
Lantas saya teringat sebuah percakapan dengan senior di kantor. Beliau seorang Bapak berusia 50 tahunan. Anaknya 3. Yang sulung kuliah di Madinah, yang nomor 2 nyantren di Gontor, tinggal yang terakhir yang masih tinggal dengannya. Anak sulung dan anak nomor 2 sudah meninggalkan rumah sejak lulus SD. Nyantren di Gontor.
"Tega gitu Pak ditinggalin anak?" Tanya saya "Ya harus tega. Kenapa nggak?" "Ya kan masih kecil, Pak. Nggak kangen apa? Kasian di sana jauh dari orang tua? Jarang ketemu." "Ya kan anak itu titipan. Cepat atau lambat juga akan ninggalin kita. Ya biasa-biasa aja. Toh dulu juga cuma sendiri, lalu berdua, lalu punya anak-anak. Nanti juga akan kembali seperti itu."
Jlebbbb! Bener banget! Anak itu cuma titipan. Kita yang berawal sendirian, akhirnya toh akan sendirian juga.
Makanya pendidikan anak-anaknya harus bagus. Kitanya juga harus mendidik diri sendiri juga.
Sebagai orang tua, harusnya kita "memberi tanpa harap kembali".
Mungkin itu salah satu hikmahnya sampai hari ini saya belum diberi amanah anak-anak. Mungkin Tuhan mau saya untuk belajar dari pengalaman-pengalaman orang di sekitar saya. Tentang bagaimana menjadi anak dan bagaimana menjadi orang tua agar kelak nggak salah dalam berkehidupan.
Kelak ketika menjadi orang tua, ikhlaslah! Besarkan anak-anak dengan kasih sayang, berikan pendidikan terbaik dan teladan terbaik. Ketika mereka sudah mampu untuk mandiri, maka lepaskanlah. Biarkan mereka belajar jadi manusia sendiri. Kita lihat saja, sejauh apa hasil didikan kita selama ini. Tak perlu menuntut mereka untuk pulang ketika liburan, biarkan saja mereka dengan kesadaran dan kerinduannya sendiri. Jika pun mereka tidak sempat pulang, mungkin saja kehidupannya memang lebih membutuhkannya untuk hadir di dalamnya. Toh dengan kemajuan teknologi abad ini, video call bisa menjadi salah satu solusi.
Ketika waktunya mereka menikah, bukalah hati untuk menerima anggota baru keluarga kita. Cintai juga dengan cinta yang sama. Tak perlu menuntutnya untuk menjadi seperti itu dan seperti ini. Sekali lagi kita akan melihat hasil didikan kita melalui cara anak kita memilih pasangannya dan mendidik cucu-cucu kita. Sudah tepatkah cara kita mendidik selama ini? Sudah kita tunaikankah amanah yang diberikan Tuhan kepada kita selama ini?
Ketika waktu pensiun kita sudah hadir, ketika punggung sudah mulai membungkuk, ketika makanan hanya bubur-bubur saja, tak perlulah menuntut mereka untuk selalu ada di samping kita. Mereka juga punya kehidupannya sendiri. Dan ini terakhir kalinya kita akan melihat hasil didikan kita. Akankah mereka merawat kita sebagaimana dahulu kita merawat mereka?
Baiklah, sekian dulu. Semoga menjadi renungan bagi diri kita masing-masing dan ke depannya menjadikan kita semakin memperbaiki apa yang belum tepat.
Komentar
Posting Komentar